FRAKTUR
A. PENGERTIAN
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya yang terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar
seperti trauma atau tenaga fisik (Brunner & Suddarth, 2001).
KLASIFIKASI FRAKTUR
Jenis-jenis fraktur ada 4, yaitu:
1. Fraktur
komplet, yaitu: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi yang normal)
2. Fraktur tidak komplet, yaitu: patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
3. Fraktur tertutup (fraktur simple), yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur
terbuka (fraktur komplikata/ komplit), yaitu fraktur dengan luka pada
kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a. Grade 1, dengan luka bersih yang kurang dari 1 cm.
b. Grade II, luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
c. Grade III, mengalami kerusakan jaringan lunak yang lebih berat
(Brunner & Suddarth, 2001)
Fraktur juga digolongkan sesuai dengan pergeseran anatomis fragmen tulang, yaitu:
ü Greenstick
: Fraktur yang tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Dimana
salah satu sisi tulang patah sedang sisi yang lain membengkok dan
kortek tulang dan periosteum masih utuh. Biasanya akan segera sembuh dan
mengalami remodeling ke bentuk dan fungsi yang normal.
ü Transversal : Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang (sepanjang garis tengah tulang)
ü Oblik : Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang
ü Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang
ü Kominutif : serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang
ü Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
ü Kompressi/
impaksi : Fraktur ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada
diantaranya seperti satu vertebra dengan vertebra yang lain
ü Patologik : Fraktur yang terjadi pada tulang yang berpenyakit (kista tulang, penyakit piaget, metastasis tulang, tumor)
ü Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya (Price & Wilson, 1995).
B. PENYEBAB
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut
2. Trauma tidak langsung: dimana jarak antara titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang
5. Muscle
(otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga
dapat menyebabkan fraktur (misal: elektrik shock dan tetani)
C. PATOFISIOLOGI
Etiologi : trauma, kelemahan/
tekanan, patologi
Fraktur
Periosteum, cortex, pembuluh darah
Sum-sum tulang dan jaringan lunak terputus
Perdarahan jaringan skeletal
Hematoma canal medularis
Sebagian jaringan nekrosis
Stimulasi respon radang (vasodilatasi, eksudasi plasma,
migrasi leukosit dan infiltrasi sel darah putih)
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi. spasme
otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan,
peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah fraktur
dan dapat diminimalkan dengan bidai alamiah
2. Deformitas,
akibat dari pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
(perbedaan fungsi normal otot pada integritas tulang)
3. Pemendekan tulang yang terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Krepitus,
bunyi derik tulang yang dapat diperiksa dengan tangan. Hal ini terjadi
karena gesekan antara fragmen satu dengan yang lain. Uji krepitus ini
dapat berdampak kurang baik, terjadinya kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat
5. Pembengkakan
dan perubahan warna local pada kulit, terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur yang timbul beberapa jam setelah
kejadian.
6. Echimosis, ekstravasasi darah dalam jaringan subkutan (Brunner & Suddarth, 2001)
E. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal
Ø Syok
hipovolemik/ traumatik, ketika terjadi fraktur (extremitas, vertebra,
pelvis, femur) yang mengakibatkan perdarahan dan kehilangan cairan
extrasel kemudian aliran darah berkurang di jaringan yang rusak dan
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik
Ø Sindrom emboli lemak
Ø Sindrom kompartemen
Ø Trombo emboli vena, berhubungan dengan penurunan aktivitas/ kontraksi otot/dan terapi antibiotik
Ø Infeksi,
biasanya pada fraktur terbuka, terjadi kontaminasi infeksi sehingga
perlu monitor tanda-tanda infeksi dan terapi antibiotik
2. Komplikasi lambat
Ø Delayed
union, proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan,
biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses
infeksi
Ø Non union, proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini di sebabkan oleh fobrous union atau pseudoarthrosis
Ø Mal union, proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk)
Ø Nekrosis avaskuler di tulang, karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang
F. PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR
Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi.
1. Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umu; riwayat
kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
2. Reduksi,
mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk mencegah
jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
ü Reduksi
tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan
tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
ü Traksi,
digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana
beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang
ü Reduksi
terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan, yaitu
fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant
logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue,
pin dan tehnik gips
3. Reposisi,
setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
4. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi, dengan cara:
ü Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
ü Meninggikan ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan
ü Memantau status neorovaskular
ü Mengontrol kecemasan dan nyeri
ü Latihan isometrik dan setting otot
ü Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
ü Kembali keaktivitas secara bertahap
G. TAHAP PENYEMBUHAN TULANG
1. Tahap pembentukan hematum
Dalam
24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibri yang masuk kearea
fraktur , suplai darah meningkat, terbentuklah hematum yang berkembang
menjadi jaringan granulasi samapi hari kelima
2. Tahap proliferasi
Dalam
waktu 5 hari hematum akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang
fibrin dalam gumpalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi,
invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matrik kolagen pada patahan tulang sehingga
terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
3. Tahap pembentukan kallus
Pertumbuhan
jaringan berlanjut sampai celah terhubungkan. Memerlukan waktu 3-4
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan
fibrus
4. Osifikasi
Pembentukan
kallus mulai mengalami penulangan endokondrial. Mineral terus di timbun
hingga tulang benar-benar bersatu (3-4 bulan)
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang dan kallus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
H. TINDAKAN PEMBEDAHAN
- ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION)
Melakukan
insisi dan menyusun kembali bagian fraktur dengan visual secara
langsung. Reduksi terbuka merupakan pilihan pengobatan untuk fraktur
campuran yang di sertai dengan injury neurovaskuler yang berat atau jika
jaringan lunak berada di permukaan antara dua tulang. Internal fixation
membuat tulang menjadi imobil dan dapat mencegah deformitas pada tulang
tetapi bukan sebagai pengganti untuk penyembuhan tulang.
Metode pelaksanaan ORIF:
ü Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cidera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
ü Fraktur diperiksa dan diteliti
ü Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
ü Fraktur di reposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
ü Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku
Keuntungan:
ü Reduksi akurat
ü Stabilitas reduksi tinggi
ü Pemeriksaan struktur neurovaskuler
ü Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
ü Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat
ü Rawat inap lebih singkat
ü Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian: Kemungkinan terjadi infeksi dan Osteomielitis
- EKSTERNAL FIKSASI
Fiksasi
eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak (fraktur komplet pada humerus, lengan bawah, femur, tibia
dan pelvis
ü Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama
ü Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips.
ü Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang
ü Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya.
ü Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain:
- Observasi letak pen dan area
- Observasi kemerahan, basah dan rembes
- Observasi status neurovaskuler distal fraktur
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/ luas fraktur dan trauma
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan jika di curigai adanya kerusakan vaskuler
4. Hitung
darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi), atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). SDP meningkat yang merupakan respon stres normal setelah
trauma
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi darah, tranfusi multipel atau cedera hati
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Aktivitas / istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara skunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri,
anxietas, atau hipotensi
Tachikardi (respon stres, hipovolemi)
Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian
Kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot
Kebas/ kesemutan (parastesis)
Tanda : Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,
spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi
Agitasi, berhubungan dengan nyeri, anxietas atau trauma lain
Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (terlokalisasi pada area jaringan,
kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tidak ada nyeri
akibat kerusakan saraf
Spasme/ kram otot (setelah imobilisasi)
Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap/ hati-hati)
Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera
Pertimbangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat: Femur 7,8 hari;
rencana pemulangan panggul/ pelvis 6,7 hari; lain-lain 4,4 hari (bila
memerlukan perawatan dirumah sakit
memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas
perawatan diri dan pemeliharaan rumah
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko tinggi terjadi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang
b. Nyeri
berhubungan dengan spasme otot; gerakan fragmen tulang; edema dan
cedera pada jaringan lunak; alat traksi/ mobilisasi; stress, anxietas
c. Risiko
tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah; edema; pembentukan thrombus; hipovolemia
d. Risiko
tinggi gangguan pertukaran gas berhubngan dengan perubahan aliran
darah; emboli lemak; perubahan membrane alveolar/ kapiler; interstitial;
edema paru; kongesti
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular; nyeri; ketidaknyamanan; terapi
f. Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer; kerusakan kulit; trauma jaringan; prosedur invasive; traksi
tulang
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC
Price, S. A. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddart. Ed. 8. Jakarta: EGC
0 komentar:
Posting Komentar
DILARANG BERKOMENTAR SPAM